-Tari
Maengket
Maengket adalah paduan dari sekaligus seni tari, musik dan nyanyi, serta
seni sastra yang terukir dalam lirik lagu yang dilantunkan. Sejumlah pengamat
kesenian bahkan
melihat maengket sebagai satu bentuk khas sendratari berpadu opera. Apapun, maengket memang merupakan sebuah adikarya kebudayaan puncak yang tercipta melalui proses panjang penyempurnaan demi penyempurnaan.
melihat maengket sebagai satu bentuk khas sendratari berpadu opera. Apapun, maengket memang merupakan sebuah adikarya kebudayaan puncak yang tercipta melalui proses panjang penyempurnaan demi penyempurnaan.
Maengket
sudah ada di tanah Minahasa sejak rakyat Minahasa mengenal pertanian terutama
menanam padi di ladang. Kalau dulu nenek moyang Minahasa,
maengket hanya dimainkan pada waktu panen padi dengan gerakan-gerakan yang hanya sederhana, maka sekarang tarian maengket telah berkembang teristimewa bentuk dan tarinya tanpa meninggalkan keasliannya terutama syair/sastra lagunya.
maengket hanya dimainkan pada waktu panen padi dengan gerakan-gerakan yang hanya sederhana, maka sekarang tarian maengket telah berkembang teristimewa bentuk dan tarinya tanpa meninggalkan keasliannya terutama syair/sastra lagunya.
Maengket
terdiri dari 3 babak, yaitu :
- Maowey Kamberu
- Marambak – Lalayaan. Maowey Kamberu adalah
- Maowey Kamberu
- Marambak – Lalayaan. Maowey Kamberu adalah
suatu tarian yang dibawakan pada acara pengucapan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, dimana hasil pertanian terutama tanaman padi yang berlipat ganda/banyak. Marambak adalah tarian dengan semangat kegotong-royongan (mapalus), rakyat Minahasa bantu membantu membuat rumah yang baru. Selesai rumah dibangun maka diadakan pesta naik rumah baru atau dalam bahasa daerah disebut “rumambak” atau menguji kekuatan rumah baru dan semua masyarakat kampung diundang dalam pengucapan syukur. Lalayaan adalah tari yang dilakukan saat bulan purnama Mahatambulelenen, para muda-mudi melangsungkan acara Makaria’an — mencari teman hidup.
-Tari
Maselai
Mesalai adalah salah satu jenis tarian tradisional yang berasal
dari Provinsi Sulawesi Utara. Kesenian yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat Kepulauan Sangihe Talaud ini dahulu merupakan bagian dari
suatu upacara ritual sebagai perwujudan rasa syukur kepada Genggona Langi
Duatung Saluruang (Tuhan Yang Maha Tinggi Penguasa Alam Semesta) atas segala
anugerah yang telah diberikan-Nya. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan
masuknya agama-agama baru, tari mesalai saat ini juga digunakan sebagai
pelengkap upacara adat dan syukuran, seperti: khitanan, perkawinan, mendirikan
rumah baru, peresmian perahu baru dan lain sebagainya
GORONTALO
Salah satu warisan nenek moyang kita yang perlu
dilestarikan yakni Seni Tari. Olah gerak nan elok ini menampilkan serta
menceritakan tentang kehidupan masyarakat melalui gerakan tari. Selain Tari Saronde, Tari
Dana-danamerupakan salah satu dari seni budaya asli Gorontalo. Tari ini
menampilkan gerakan yang harus diikuti oleh seluruh anggota badan dan
menggambarkan pergaulan keakraban remaja. Salah satu tarian khas gorontalo yang
biasanya ditarikan pada saat hajatan berupa acara perkawinan atau pesta rakyat
dan pagelaran seni budaya. Keunikannya tari ini didominasi oleh gerakan-gerakan
yang dinamis mengikuti irama musik gambus dan rebana serta lagu berisi pantun
bertemakan percintaan, atau nasehat – nasehat yang berhubungan dengan pergaulan
remaja.
Tari Dana-Dana diangkat dari Bahasa Daerah
Gorontalo, yakni dari dua kata : Daya-Dayango dan Na’o-Na’o. Daya-Dayango artinya menggerakkan
seluruh anggota tubuh. Anggota tubuh yang dimaksud yakni tangan, kaki,
dada, perut dan pinggul menurut ritme tertentu. Sedang Na’o-Na’o artinya sambil
berjalan. Jadi, jika digabungkan dan diartikan menjadi menggerakkan seluruh
anggota tubuh sambil berjalan.Tarian dana-dana hadir di Gorontalo sejak tahun
1525 M atau saat Agama Islam masuk di daerah ini. Tarian ini pertama kali
ditampilkan pada acara pernikahan Raja Sultan Amay dengan Putri
Owotango. Saat itu, seusai prosesi pernikahan masuklah pada acara
pertunjukkan tarian rakyat yang diantaranya adalah Tari Dana-Dana.
Ketatnya ajaran Islam dan norma adat-istiadat masyarakat
Gorontalo pada waktu itu, mengalami kendala untuk menampilkan tarian ini secara
berpasang-pasangan. Alasannya cukup masuk akal, tidak mengizinkan pria dengan
mudah menyentuh wanita yang bukan muhrimnya. Sehingga tarian dana-dana yang
diangkat dari salah satu tarian pergaulan muda-mudi waktu itu ditampilkan hanya
dilakoni oleh laki-laki saja dengan jumlah 2 sampai 4 orang.
Tarian Dana-dana ini terus mengalami metamorfosis, di
modifikasi dan di sesuaikan dengan keadaan zaman. Hal ini dilakukan agar tarian
dana-dana yang dimainkan sepasang muda – mudi itu mempunyai daya tarik
tersendiri bagi masyarakat. Berdasarkan hal ini, maka di daerah gorontalo
terdapat tiga jenis tarian dana-dana, Tari Dana-Dana Asli yang merupakan tarian
dana-dana peninggalan leluhur yang gerakannya belum terkontaminasi oleh zaman,
Tari Dana-Dana Modern dan Tari dana-Dana Kreasi, kedua tarian ini merupakan
penjabaran dari tarian dana-dana asli.
Walaupun telah di modifikasi sedemikian rupa, tarian
dana-dana modern dan kreasi ini tidak bertentangan dengan syariat Islam, dimana
khususnya untuk pakaian penari wanita yang tetap di haruskan menggunakan busana
tertutup serta jilbab sebagai ciri khas seorang muslimah.
Tarian dana-dana yang mengalami modifikasi
dari tarian asli nampak jelas pada jumlah personil penari yang terdiri atas
pasangan laki-laki dan perempuan serta pakaian yang kini ditata dengan busanatakowa
kiki, memakai songkok dan berlilitkan sarung di pinggang. Meskipun telah di
modifikasi, akan tetapi hal itu tidak mengurangi nilai dari tarian dana-dana
yang aslinya.
Tarian dana-dana modern dan klasik merupakan gabungan
antara tari dana-dana yang asli dan cha-cha. Dengan maksud agar banyak
peminatnya terutama para pemuda. Kenapa harus dilakukan modifikasi? Hal ini
tidak terlepas dari perkembangan zaman yang sudah semakin maju sehingga para
budayawan mencoba membuat tarian dana-dana tetap menarik untuk ditampilkan dan
dipelajari, terutama oleh generasi muda Gorontalo.
Sulawesi
tengah
Selanjutnya untuk Vaino, merupakan pembacaan syair-syair yang dibawakan secara bersahut-sahutan. Biasanya dilakukan pada waktu pesta kedukaan, yaitu di antara malam-malam dari hari ke- 3 sampai hari ke- 40 setelah kematian.
Sedangkan Dadendate, dapat dikategorikan sebagai seni suara, berupa nyanyian yang dilagukan semalam suntuk oleh seorang pria dan seorang wanita secara bergantian dengan iringan alat musik gambus. Syair yang dinyanyikan berisikan sindiran yang sifatnya membangun. Kesenian ini pada umunmya digemari oleh semua lapisan umur dalam masyarakat.
Untuk kesenian tradisional Kakula, yaitu sejenis kesenian yang menggunakan seperangkat alat musik, terdiri dari 15 buah kakula, 2 buah tambur, dan sebuah gong.
Untuk jenis tarian yang disuguhkan untuk menyambut tamu-tamu terhormat, yang diakhiri dengan menaburkan bunga kepada para tamu sering dinamai tarian . Lumense dan Peule Cinde
Mamosa, merupakan tarian perang yang dibawakan oleh seorang penari pria dengan membawa parang dan perisai kayu, yang ditarikan dengan gerakan melompat-lompat seperti menangkis serangan. Tarian ini diiringi alat musik gendang dan gong.
Sedanngkan Morego, sejenis tarian untuk menyambut kepulangan para pahlawan dari medan pertempuran dengan membawa kemenangan. Sebelum tarian ini ditarikan, harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu seperti meminta restu kepada pemangku adat, kemudian mencari wanita pasangan menari yang belum menikah.
Selanjutnya, Pajoge, merupakan tarian yang berasal dari lingkungan istana, dan biasanya ditarikan pada waktu ada pesta pelantikan raja. Tarian ini merupakan hasil pengaruh unsur kesenian dari kebudayaan yang berkembang di Sulawesi Selatan. Para penarinya terdiri dari tujuh penari wanita dan seorang penari pria.
Balia, merupakan sejenis tarian yang berkaitan dengan kepercayaan animisme, yaitu pemujaan terhadap benda-benda keramat, khususnya yang berhubungan dengan pengobatan tradisional terhadap seseorang yang terkena pengaruh roh jahat.
Kalau dilihat dari kesenian tari, wilayah Sulawesi tengah akan kaya dengan seni budayanya. Hanya saja, cara untuk melestarikan serta mempertahankan serta mempromosikannya perlu mendapat perhatian secara maksimal dari pemerintah daerah.
Tari Pomonte adalah
salah satu tari daerah yang telah merakyat di Provinsi Sulawesi Tengah, yang
merupakan simbol dan refleksi gerak dari salah satu kebiasaan gadis-gadis suku
Kaili pada zaman dahulu dalam menuai padi, yang mana mayoritas penduduk suku
Kaili adalah hidup bertani. Tari Pomonte telah dikenal sejak tahun 1957 yang di
ciptakan oleh seorang seniman besar, putra asli Sulawesi tengah yaitu (alm)
Hasan. M. Bahasyuan, beliau terinspirasi dari masyarakat Sulawesi Tengah yang
agraris. Tari Pomonte melambangkan sifat gotong-royong dan memiliki daya
komunikasi yang tinggi, hidup dan berkembang ditengah masyarakat yang telah
menyatu dengan budaya masyarakat itu sendiri. Kata POMONTE berasal dari bahasa
Kaili Tara ; - PO artinya = Pelaksana - MONTE artinya = Tuai (menuai) - POMONTE
artinya = Penuai Tari Pomonte menggambarkan suatu kebiasaan para gadis-gadis
suku Kaili di Sulawesi Tengah yang sedang menuai padi pada waktu panen tiba
dengan penuh suka cita, yang dimulai dari menuai padi sampai dengan upacara
kesyukuran terhadap sang Pencipta atas keberhasilan panen. Dan sebelum menuai
setiap pekerjaan didahului oleh seorang Penghulu yang dalam bahasa Kaili
disebut TADULAKO. TADULAKO pada tarian ini berperan sebagai pengantar
rekan-rekannya mulai dari menuai, membawa padi kerumah, membawa padi ke lesung,
menumbuk padi, menapis serta membawa beras ke rumah yang kemudian disusul
dengan upacara selamatan yakni No’rano, Vunja, Meaju dan No’raego mpae yang
merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan pada upacara panen suku Kaili di
provinsi Sulawesi Tengah. Tari Pomonte memiliki daya pikat yang kuat karena dalam
penampilannya mampu menimbulkan suasana gembira terhadap penonton, baik dalam
gerak maupun lagu yang dinyanyikan dalam berhasa daerah yaitu bahasa Kaili,
sehingga tari Pomonte dapat dimengerti langsung oleh yang menyaksikannya
khususnya masyarakat di lembah Palu.
SUlAWESI Tenggara
Tari Molulo
sebenarnya adalah tari tradisional yang berasal dari daerah Tolaki Sulawesi
Tenggara (Indonesia). Daerah tolaki adalah bekas Kerajaan Konawe dan Mekongga
yakni Kabupaten Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, Kota Kendari, dan
sebagian Kabupaten Kolaka dan Kolaka Utara.
Di daerah-daerah
tersebut menggunakan bahasa Tolaki namun dengan dua dialek yang berbeda yakni
Bahasa Tolaki Dialek Wawonii dan Bahasa Tolaki Dialek Mekongga. Walaupun Tari
Molulo ini berasal dari daerah/suku tolaki, akan tetapi tarian ini diminati
oleh seluruh masyarakat di Sulawesi Tenggara bahkan Sulawesi Tengah. Molulo ini
hampir sama dengan modero, hanya saja kalau dalam modero lagu harus dibawakan
oleh peserta modero, akan tetapi dalam molulo lagu berasal dari kaset/pita
rekaman ataupun gong dan gendang.
Pada zaman
dahulu, molulo selalu dilaksanakan dengan menggunakan gong. Jadi dapat
dikatakan ada kelompok penari dan kelompok penabuh gendang dan pemukul gong.
Namun sayangnya, di kabupaten muna, tari molulo yang diikuti dengan gendang dan
gong sudah tidak ada lagi, sebab sudah berganti dengan menggunakan music
dangdut yang berirama disko, remix dan irama house. Selain menggunakan musik
yang berasal dari kaset/pita rekaman, saat ini juga molulo yang paling banyak
digemari adalah musik yang berasal dari grup band atau organ. Kadang-kadang
kalau menggunakan kaset/pita rekaman tidak banyak yang menyukainya, akan tetapi
jika menggunakan organ atau music band, banyak sekali yang menggemarinya. Ini
tidak hanya terjadi di Kabupaten Muna tetapi merata di Sulawesi Tenggara.
2. Tarian Modero
Tarian Rakyat Suku Mori di Sulawesi
Tengah: Kesenian ini diselenggarakan hampir disemua desa pada waktu musim panen
sebagai tanda syukur dan pada rangkaian acara pernikahan. Modero dijadikan pula
ajang pertemuan antara cewe dengan cowo, Menari bersama dalam beberapa
lingkaran bersusun bisa sampai 5 atau 10 atau lebih lingkaran, ditengahnya
dinyalakan api unggun, dan seorang memukul gendang yang berirama, disiapkan
pula tempat minuman biasanya minuman dari arak (Saguer) dan daging dendeng
bakar. Tarian Modero dimulai dari jam 9 malam sampai pagi, sambil menari
mendendangkan pantun khas daerah tersebut, bagi yang kelelahan dapat
beristrahat sambil baring di tengah2 lingkaran., siapa saja dapat ikut dan
bargabung dalam tarian tersebut, terkadang wisatawan manca negara pun ikut
bergabung. Irama gerakan Modero mulai dari gerakan dasar (gerakan
kekiri-kekanan sambil bergandengan tangan) sampai dengan gerakan irama yang
tersulit/tingkat ke 9 (versi asli tarian molulo) dan semua beraturan. Kalau
tidak tau gerakannya, jangan khawatir, bergabung saja diantara gadis gadis yang
cantik, ia akan menggandeng tangan anda dan menuntun, tidak peduli ia mempunyai
pasangan atau tidak.. Kalau Anda hanya berdiri dipinggiran lingkaran.., tunggu
saja tidak lama kemudian anda dijemput untuk bergabung.
Seni
Tari Honari Mosega
Kesenian ini adalah tarian perang asli asal
Liya, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara. Kesenian Tari Tradisonal
ini merupakan kebanggaan masyarakat Liya yang mengisahkan tarian berani.
Dahulu kala seni tari Honari Mosega di
atraksikan sebelum dan sesudah perang. Tarian ini diadakan sebagai pengungkapan
dan motivasi dari semangat prajurit Liya ketika akan berperang mengusir musuh
dan kegembiraan mereka karena pulang dengan kemenangan keberhasilan menaklukan
musuh.
Tari ini dimainkan oleh beberapa laki-laki,
terdiri dari 1 penari inti disebut tompidhe dengan memegang tombak atau parang,
dan dilengkapi dengan 1 atau 4 orang sebagai hulubalang yang disebut manu-manu
moane dengan memegang tombak dan janur kuning sebagai penghalau bisa atau
sihir. Kadang terdapat pula hulubalang wanita yang disebut manu-manu wowine
serta 1 orang pemukul gendang atau tamburu.
Penari Tompidhe dan Manu-manu Moane
dilengkapi dengan untaian gemerincing dan dalam gerakannya akan selalu
menimbulkan bunyi. Terdapat gerakan meloncat dan maju lalu mundur secara
beraturan sebagai gerakan silat Liya yang disebut Makanjara, yang dilakukan
karena kegembiraan atas kemenangan mereka dalam berperang.
Tari Honari Mosega selama masa kesultanan
buton sering ditampilkan pada acara-acara penyambutan tamu agung, maupun
perangkatnya serta acara-acara adat yang berlaku hanya dalam lingkup keturunan
para bangsawan Liya
Tarian Lulo
Tarian
tradisional salah satu jenis kesenian, setiap suku di daerah ini memiliki
tarian tradisional masing-masing, yang merupakan kekayaan budaya warisan dari
nenek moyang bangsa Indonesia khususnya di daerah Sulawesi Tenggara. Di Kendari
(sulawesi tenggara) terdapat beberapa suku. Suku Tolaki sebagai salah satu suku
yang berada di daerah ini memiliki beberapa tarian tradisional , salah satu
tarian tradisional yang masih sering dilaksanakan hingga saat ini adalah tarian
persahabatan yang disebut tarian Lulo.
Jaman dulu, nenek moyang suku tolaki tarian
ini dilakukan pada upacara-upacara adat seperti : pernikahan, pesta panen raya
dan upacara pelantikan raja, yang diiringi oleh alat musik pukul yaitu gong,
gong yang digunakan biasanya terdiri dari 2 macam yang berbeda ukuran dan jenis
suara. Saat sekarang utamanaya di daerah perkotaan , gong sebagai alat musik
pengiring tarian lulo telah digantikan dengan alat musik modern yaitu
“Electone”.
Adapun filosofi tarian “lulo” adalah
persahabatan, yang biasa ditujukan kepada muda-mudi suku Tolaki sebagai ajang
perkenalan, mencari jodoh, dan mempererat tali persaudaraan. Tarian ini
dilakukan dengan posisi saling bergandengan tangan dan membentuk sebuah
lingkaran. Peserta tarian ini tidak dibatasi oleh usia maupun golongan, siapa
saja boleh turut serta dalam tarian lulo, kaya miskin, tua, muda boleh bahkan
jika anda bukan suku tolaki atau dari Negara lain bisa bergabung dalam tarian
ini, yang penting adalah bisa mengikuti gerakan tarian ini. Hal lain yang perlu
diperhatikan adalah posisi tangan saat bergandengan tangan, untuk pria posisi
telapak tangan di bawah menopang tangan wanita. Posisi tangan ini merupakan
simbolisasi dari kedudukan, peran, etika pria dan wanita dalam kehidupan ini.
Tetapi saat ini Tarian lulo telah mengalami
proses adaptasi terutama dalam hal variasi gerakan dan juga musik yang
mengiringinya, jika dahulu masyarakat suku tolaki menggunakan alat musik pukul
yang dikenal dengan sebutan “Gong” saat ini telah menggunakan alat musik
elektronik yaitu organ tunggal (electone) begitu juga dengan variasi gerakannya
mulai dari lulo yang lambat (santai) sampai gerakan yang cepat.
Yang terpenting dari semua itu adalah arti
dari tarian Lulo sendiri, tarian Lulo mencerminkan bahwa masyarakat Tolaki
adalah masyarakat yang cinta damai dan mengutamakan persahabatan dan persatuan
dalam menjalani kehidupannya. Seperti filosofi masyarakat Tolaki yang
diungkapkan dalam bentuk pepatah “samaturu, medulu ronga mepokoaso” yang
berarti masyarakat Tolaki dalam menjalani perannya masing-masing selalu
bersatu, bekerja sama, saling tolong –menolong dan bantu-membantu.
SULAWESI BARAT
TARIAN MOTARO
Namun demikian, yang menjadi dasar atau inti tarian Motaro masih tetap dipertahankan. Pada masa dahulu tarian Motaro dilakukan untuk menyambut para pahlawan yang baru kembali dari medan pertempuran sebagai rasa syukur mereka kepada pencipta, atas kemenangan mereka.
Pada zaman dahulu sebelum penjajahan Belanda, para penari tarian Motaro ini memakai pakian yang terbuat dari kulit kayu (dalam bahasa pamona disebut ‘inodo’) yang di celup dalam larutan geta dari buah sejenis mangga, yang di sebut buah”polo”.
Adapun perlengkapan dalam membawakan tarian ini adalah:
1.Tinampa, Yaitu gelang tangan yang terbuat dari logam warna
putih, bersusun sepanjang hasta (siku sampai kepergelangan tangan) jumlahnya
kerang lebih 50 buah.
2. Langko, yaitu gelang kaki yang terbuat dari logam yang berwarna putih, bersusun 2 sampai 10 buah di kaki penari
3. Daun Soi, semacam daun (jenis tumbuh-tumbuhan yang tahan panas ataupun hujan) yang berwarna coklat tua, kadang berwarna merah, yang dipegang oleh tangan kiri para penari, melambangkan/menggambarkan keberanian, dan kehidupan abadi, dan luhur
4. Pedang, yang melambangkan, jiwa kepahlawanan yang tinggi dan bersemangat.
5. Gendang (karatu), yaitu 2 buah gendang sedang, dan sebuah gendang besar yang ditabuh oleh pria/wanita, penabuh yang ahli dalam irama dan gaya pukulan, sesuai dengan gerakan-gerakan dalam tarian ini. Irama pukulan gendang yang tepat seolah-olah mengeluarkan suara yang mengatakan Daku tende lipu se’i artinya “saya angkat kampung ini”. Menurut jiwa dan seninya, pukulan gendang tersebut bertujuan menjujung tinggi/mempertahankan dan mengembangkan daerah ini untuk lebih maju ke tingkat dan perkembangannya yang lebih tinggi.
6. Perisai (kanta), sebuah alat pelindung yang dipakai pada waktu berperang, melambangkan besarnya jiwa kepahlawanan untuk menghadapi segala bentuk musuh. Alat(kanta) tersebut akan dipegang oleh 2 orang pria yang pandai “Mangaru” (seperti cakalele) untuk mengiringi para penari putri membawakan tarian “Motaro”.
Tarian Motaro adalah salah satu tarian di daerah/wilayah Pamona yang menggambarkan:
1. besarnya jiwa kepahlawanan yang kokoh dan kuat untuk melawan dan menghancurkan segala jenis dan bentuk pengrusakan terhadap kemanusiaa.
2. melambangkan kehalusan budi pekerti para putri-putri suku Pamona, yang dapat menghargai dan menghormati sesama sudaranya, sebangsanya, terutama penciptanya, dan orang tuannya.
3. keperacayaan yang teguh akan kekuatan gaib, dewa yang disembah, agar supaya segala berkat serta kenikmatan hidup dan ketentraman bermasyarakat akan diberikan dan dirasakan oleh setiap insan yang mempercayainya.
2. Langko, yaitu gelang kaki yang terbuat dari logam yang berwarna putih, bersusun 2 sampai 10 buah di kaki penari
3. Daun Soi, semacam daun (jenis tumbuh-tumbuhan yang tahan panas ataupun hujan) yang berwarna coklat tua, kadang berwarna merah, yang dipegang oleh tangan kiri para penari, melambangkan/menggambarkan keberanian, dan kehidupan abadi, dan luhur
4. Pedang, yang melambangkan, jiwa kepahlawanan yang tinggi dan bersemangat.
5. Gendang (karatu), yaitu 2 buah gendang sedang, dan sebuah gendang besar yang ditabuh oleh pria/wanita, penabuh yang ahli dalam irama dan gaya pukulan, sesuai dengan gerakan-gerakan dalam tarian ini. Irama pukulan gendang yang tepat seolah-olah mengeluarkan suara yang mengatakan Daku tende lipu se’i artinya “saya angkat kampung ini”. Menurut jiwa dan seninya, pukulan gendang tersebut bertujuan menjujung tinggi/mempertahankan dan mengembangkan daerah ini untuk lebih maju ke tingkat dan perkembangannya yang lebih tinggi.
6. Perisai (kanta), sebuah alat pelindung yang dipakai pada waktu berperang, melambangkan besarnya jiwa kepahlawanan untuk menghadapi segala bentuk musuh. Alat(kanta) tersebut akan dipegang oleh 2 orang pria yang pandai “Mangaru” (seperti cakalele) untuk mengiringi para penari putri membawakan tarian “Motaro”.
Tarian Motaro adalah salah satu tarian di daerah/wilayah Pamona yang menggambarkan:
1. besarnya jiwa kepahlawanan yang kokoh dan kuat untuk melawan dan menghancurkan segala jenis dan bentuk pengrusakan terhadap kemanusiaa.
2. melambangkan kehalusan budi pekerti para putri-putri suku Pamona, yang dapat menghargai dan menghormati sesama sudaranya, sebangsanya, terutama penciptanya, dan orang tuannya.
3. keperacayaan yang teguh akan kekuatan gaib, dewa yang disembah, agar supaya segala berkat serta kenikmatan hidup dan ketentraman bermasyarakat akan diberikan dan dirasakan oleh setiap insan yang mempercayainya.
SULAWESI
SELATAN
Tari Pakarena adalah tarian tradisional dari Sulawesi Selatan yang diiringi oleh 2 (dua) kepala drum (gandrang) dan sepasang instrument alat semacam suling (puik-puik). Selain tari pakarena yang selama ini dimainkan oleh maestro tari pakarena Maccoppong Daeng Rannu (alm) di kabupaten Gowa, juga ada jenis tari pakarena lain yang berasal dari Kabupaten Kepulauan Selayar yaitu “Tari Pakarena Gantarang”. Disebut sebagai Tari Pakarena Gantarang karena tarian ini berasal dari sebuah perkampungan yang merupakan pusat kerajaan di Pulau Selayar pada masa lalu yaitu Gantarang Lalang Bata. Tarian yang dimainkan oleh empat orang penari perempuan ini pertama kali ditampilkan pada abad ke 17 tepatnya tahun 1903 saat Pangali Patta Raja dinobatkan sebagai Raja di Gantarang Lalang Bata. Tidak ada data yang menyebutkan sejak kapan tarian ini ada dan siapa yang menciptakan Tari Pakarena Gantarang ini namun masyarakat meyakini bahwa Tari Pakarena Gantarang berkaitan dengan kemunculan Tumanurung. Tumanurung merupakan bidadari yang turun dari langit untuk untuk memberikan petunjuk kepada manusia di bumi. Petunjuk yang diberikan tersebut berupa symbol – simbol berupa gerakan kemudian di kenal sebagai Tari Pakarena Gantarang. Hal ini hampir senada dengan apa yang dituturkan oleh salah seorang pemain Tari Pakarena Makassar Munasih Nadjamuddin. Wanita yang sering disama Mama Muna ini mengatakan bahwa Tari Pakarena berawal dari kisah perpisahan penghuni botting langi (Negeri Kayangan) dengan penghuni lino (bumi) zaman dahulu. Sebelum berpisah, botting langi mengajarkan kepada penghuni lino mengenai tata cara hidup, bercocok tanam hingga cara berburu lewat gerakan-gerakan tangan, badan dan kaki. Gerakan inilah yang kemudian menjadi tarian ritual ketika penduduk di bumi menyampaikan rasa syukur pada penghuni langit. Tak mengherankan jika gerakan dari tarian ini sangat artistik dan sarat makna, halus bahkan sangat sulit dibedakan satu dengan yang lainnya. Tarian ini terbagi dalam 12 bagian. Setiap gerakan memiliki makna khusus. Posisi duduk, menjadi pertanda awal dan akhir Tarian Pakarena. Gerakan berputar mengikuti arah jarum jam, menunjukkan siklus kehidupan manusia. Sementara gerakan naik turun, tak ubahnya cermin irama kehidupan. Aturan mainnya, seorang penari Pakarena tidak diperkenankan membuka matanya terlalu lebar. Demikian pula dengan gerakan kaki, tidak boleh diangkat terlalu tinggi. Hal ini berlaku sepanjang tarian berlangsung yang memakan waktu sekitar dua jam. Tari Pakarena Gantarang diiringi alat music berupa gendang, kannong-kannong, gong, kancing dan pui-pui. Sedangkan kostum dari penarinya adalah, baju pahang (tenunan tangan), lipa’ sa’be (sarung sutra khas Sulawesi Selatan), dan perhiasan-perhiasan khas Kabupaten Selayar. Tahun 2007, Tari Pakarena Gantarang mewakili Sulawesi Selatan dan Indonesia pada Acara Jembatan Budaya 2007 Indonesia–Malaysia di Kuala Lumpur Convention Centre (KLCC).
Tari Pajaga
Seperti kita maklumi bahwa sebelum agama Islam masuk kerajaan Luwu (sebelum tahun 1604) maka yang dianut oleh masyarakat Luwu adalah agama Animisme. Agama yang mempercayai banyak dewa. Menurut kebudayaan bahwa seni lahir dari agama setelah pada satu tingkat kebudayaan, manusia percaya pada adanya dewa-dewa. Tarian Sulawesi Selatan
Mereka melakukan kultus sebagai pernyataan hubungan dan pengabdiannya kepada dewa-dewa itu, menggerakkan hati dewa-dewa agar dewa-dewa tersebut mengabulkan permohonan-permohonan mereka. Dan dilakukan tari-tarian untuk menyenangkan untuk mengambil hati dewa-dewa. Tari lahir gerak keasikan pemujaan dan permohonan, seterusnya agar tari tertentu dalam iramanya, ia diiringi dengan tabuhan suara bunyi-bunyian, yang berkembang menjadi seni musik.
Demikianlah sejarah timbulnya Tari Pajaga semasa Batara Guru I menjadi Pajung (Raja) di Luwu oleh beliau disuruhlah mencipta satu tarian sebagai suatu pemujaan kepada dewa-dewa dalam memenuhi permohonan manusia dan agar gerak itu mempunyai irama yang tetap maka gerak itu diiringi oleh nyanyian dan tabuhan gendang.
Sampai pada saat ini seni tari Pajaga itu, demikian pula dengan alat yang mengiringinya belum banyak mengalami perubahan atau dengan kata lain masih mendekati keaslian. Tarian Sulawesi Selatan
Asal mulanya sehingga tari ini diberi nama Pajaga. Dalam peningkatan kepercayaan rakyat Luwu dan setelah masuknya agama Islam di Luwu sehingga agama Islam pada itu menjadi agama kerajaan Luwu (tahun 1604). Maka tari ini tidak lagi menjadi tari yang menjadi hiburan raja-raja bahkan menjadi tari penghormatan kepada tamu-tamu raja yang datang ditarikan pada saat tertentu, seperti pada upacara kerajaan. Oleh karena tari tersebut sering
Seperti kita maklumi bahwa sebelum agama Islam masuk kerajaan Luwu (sebelum tahun 1604) maka yang dianut oleh masyarakat Luwu adalah agama Animisme. Agama yang mempercayai banyak dewa. Menurut kebudayaan bahwa seni lahir dari agama setelah pada satu tingkat kebudayaan, manusia percaya pada adanya dewa-dewa. Tarian Sulawesi Selatan
Mereka melakukan kultus sebagai pernyataan hubungan dan pengabdiannya kepada dewa-dewa itu, menggerakkan hati dewa-dewa agar dewa-dewa tersebut mengabulkan permohonan-permohonan mereka. Dan dilakukan tari-tarian untuk menyenangkan untuk mengambil hati dewa-dewa. Tari lahir gerak keasikan pemujaan dan permohonan, seterusnya agar tari tertentu dalam iramanya, ia diiringi dengan tabuhan suara bunyi-bunyian, yang berkembang menjadi seni musik.
Demikianlah sejarah timbulnya Tari Pajaga semasa Batara Guru I menjadi Pajung (Raja) di Luwu oleh beliau disuruhlah mencipta satu tarian sebagai suatu pemujaan kepada dewa-dewa dalam memenuhi permohonan manusia dan agar gerak itu mempunyai irama yang tetap maka gerak itu diiringi oleh nyanyian dan tabuhan gendang.
Sampai pada saat ini seni tari Pajaga itu, demikian pula dengan alat yang mengiringinya belum banyak mengalami perubahan atau dengan kata lain masih mendekati keaslian. Tarian Sulawesi Selatan
Asal mulanya sehingga tari ini diberi nama Pajaga. Dalam peningkatan kepercayaan rakyat Luwu dan setelah masuknya agama Islam di Luwu sehingga agama Islam pada itu menjadi agama kerajaan Luwu (tahun 1604). Maka tari ini tidak lagi menjadi tari yang menjadi hiburan raja-raja bahkan menjadi tari penghormatan kepada tamu-tamu raja yang datang ditarikan pada saat tertentu, seperti pada upacara kerajaan. Oleh karena tari tersebut sering
tari Pajoge
Asal mulanya Pajoge, timbul semasa kerajaan Bone dahulu. Ada yang mengatakan sejak abad ke VII, tetapi hal itu belum jelas, karena belum ada diketemukan tulisan-tulisan yang dapat memberikan keterangan pasti tentang hal itu, tetapi yang jelas bahwa raja Bone ke 31 Lapawawoi Karaeng Sigeri sangat gemar akan tari Pajoge dan semua anaknya memelihara tari Pajoge.
Jadi dengan demikian bahwa Pajoge lahir di istana raja untuk menghibur raja dan keluarganya, juga untuk menghibur rakyat pada pesta-pesta. Penari-penari pada umumnya diambil dari rakyat biasa saja. Perbedaan dengan tari Pakarena dengan tari Pajoge yang biasa hidup diistana raja yang penari-penarinya dipilih dari keturunan bangsawan atau anak anggota adat. Tetapi Pajoge adalah merupakan tarian rakyat yang dipertontonkan pada pesta raja dan umum. Tarian Sulawesi Selatan
Demikian Pajoge berfungsi sebagai tarian hiburan, juga merupakan alat penghubung antara raja dan rakyat, untuk mendekatkan hubungan agar supaya rakyat tetap cinta kepada rajanya dan sebaliknya.
Pajoge yang lahir di istana raja itu penari-penarinya dipilih yang cantik-cantik saja serta mempunyai kelebihan-kelebihan agar supaya dapat menarik perhatian para penonton, baik raja-raja maupun rakyat dengan maksud disamping ia berfungsi sebagai hiburan juga dapat menarik keuntungan atau hasil yang berupa materi, karena para penonton diberi kesempatan untuk Mappasompe pada salah seorang Pajoge yang diingininya. Dan telah menjadi ketentuan bahwa setiap laki-laki yang mau Mappasompe harus menyediakan uang atau benda lain.
Macam-macam Tari Pajoge
Pajoge biasa (penari-penarinya dari wanita)
Pajoge Angkong (penari-penarinya orang-orang banci) tarian sulawesi selatan
1 komentar:
ga ada penciptanya apa
Posting Komentar